Kuhirup secangkir teh yang sedari tadi mengait dijari jemariku, masih sama seperti tadi, air mata tetap mengalir perlahan setelah kejadian itu, kejadian yang tak akan pernah aku lupa. Begitu cepat dia pergi meninggalkanku seorang diri, sulit ku terima. Aku menyesal, mengapa aku selalu menyia-nyiakan waktu bersamanya selama ini. Baru ini aku merasa cambukkan begitu keras di dalam hati dan jiwa ini.
Selama ini ajakannya selalu ku tolak. Alasan demi alasan selalu terlontar dari mulutku untuk menolak ajakannya, aku terlalu asik dengan teman-teman sampai aku lupa, aku punya Ibu. Ibu yang selalu menemani setiap sedihku, setiap bahagiaku, setiap tidurku kini telah pergi tidur terlelap selamanya. Pengorbanannya begitu banyak untukku, Sembilan bulan bukan waktu singkat bagi seorang Ibu yang mengandung.
“Bu, kenapa cepet banget sih?! Aku belum pernah bikin Ibu bahagia” ujarku dalam tangisan. Menangis dan terus menangis, sudah 3 hari aku seperti ini, membiarkan waktu menemani hati yang dirundung kesepian. “Biasanya Ibu selalu memecahkan lamunanku, sekarang?? Ah Ibu!!” ucapku semakin keras.
Sekarang aku tak punya siapa-siapa, Ayah entah dimana keberadaannya. “Mengapa Tuhan? Mengapa harus Ibuku?!” ucapku lagi. Tak sadar bahwa teh yang aku genggam tadi telah jatuh berserakan dan cangkirnya pecah ‘prank…’, namun aku tetap menangis.
Terdengar suara ketukan pintu dengan keras, aku berharap itu Ibu. Segera aku buka pintu, “Ibu!!!!” kupeluk seseorang yang ada didepanku, aku belum sadar kalau itu adalah Ayah, iya Ayah yang meninggalkan aku dan Ibu dulu, Ayah yang lebih mementingkan kebahagiaannya ketimbang kebahagiaan kami. Cepat kulepas pelukan tersebut, entah kenapa aku benci sekali melihat Ayah, benci!. “Nak, maafkan Ayah telah menyakiti hati Ibumu dan kamu” ujarnya sambal menitikan air mata.
“Untuk apa Ayah datang? Sekarang Ibu udah ga ada! Kenapa baru minta maaf sekarang?! Dulu kemana aja, Yah?!!” ujarku dengan emosi yang memuncak. Ku hapus air mata yang sedari tadi menetes dipipiku, kini pipiku merah, merasakan kemarahan dan kebencian yang begitu dalam kepada orang yang ada didepanku. “Ayah sadar kalau Ayah udah salah, Ayah kesini mau merawatmu, Nak. Ayah sadar bahwa selama ini hanya Ibumu lah kebahagiaan Ayah” ujarnya sambil mengulurkan tangan kepadaku.
“Lebih baik Ayah pergi, aku benci lihat Ayah, aku benci!!!” ujarku dan langsung menutup pintu kamar. Ku duduk terdiam dibalik pintu dan menangis penuh sesak. “Tuhan, mengapa semua ini terjadi??” ujarku lagi. Ayah tetap mengetuk pintu dan terus meminta maaf kepadaku dari balik pintu. “Apa ini maksudmu Tuhan? Kau datangkan Ayah saat aku merasa tak memiliki siapa-siapa lagi?” ucapku sedikit tenang.
Terlalu lama menangis membuatku lelah dan tertidur pulas dilantai kamar, tak sadar bahwa hari sudah sore, aku berharap Ayah telah pergi dari rumah Ibu. Ku longok keluar pintu kamar, ternyata Ayah sedang berbincang dengan Kakekku yang sudah datang dari kampung 2 hari yang lalu, karena mendapat kabar bahwa Ibu kecelakaan dan meninggal. “Aku kangen Ibu, kangen!” ucapku tersedu.
“Jadi bagaimana kalau Saya tinggal disini nemenin Sasya” ujar Ayah kepada Kakek. “Bapak sih ga ngelarang, tapi mungkin Sasya butuh ketenangan, dia masih trauma, apalagi dulu kamu sempat pergi ninggalin mereka” ujar Kakek. “Pak, saya sadar selama ini saya salah. Mungkin saya saat itu khilaf, saya pergi ninggalin mereka demi mencari kebahagiaan lain, tapi Pak, Bapak harus percaya. Saya udah berubah” ujar Ayah meyakini Kakek. Didalam kamar ku dengar pembicaraan mereka. Aku masih belum siap untuk tinggal lagi dengan Ayah. Tapi mau bagaimana lagi, dia adalah Ayahku, kalau tak ada Ayah tak mungkin ada aku, kalau tak ada Ayah, tak mungkin aku dilahirkan oleh Ibu.
Kucoba menenangkan diri dengan sembahyang, ku ambil air wudhu, ku kenakan mukena dan memulai shalat. Selesai shalat aku berdoa “Tuhan, apa ini suratan takdirmu, kau ambil Ibuku dan kau kembalikan Ayah kerumah, sungguh aku tak pernah tahu apa rencana-Mu selanjutnya Tuhan. Maafkan aku telah menentang takdirmu, maafkan aku telah membenci Ayah.”
Perlahan ku keluar kamar, menemui Ayah yang sedari tadi menungguku keluar kamar. Dia tersenyum melihatku, senyumnya tulus, tak pernah ku lihat Ayah seperti ini. “Gimana nak? Sudah tenang? Ikhlas ya nak, Tuhan sayang sama Ibumu” ujarnya mencoba menenangkanku. “A…a…ayah maafin aku ya, aku udah benci sama Ayah, aku sadar kok ini udah jadi perjalanan hidupku. Aku juga sadar kalau sebenarnya Tuhan juga sayang padaku, Tuhan membawa Ayah kembali kerumah” ucapku dan langsung memeluk laki-laki itu, iya Ayah.
“Maafin Ayah juga ya, Nak. Ayah sadar dulu Ayah egois, Ayah lupain kamu sebagai anugerah dari Tuhan untuk Ayah dan Ibumu dulu” ujarnya lagi. Pelukan kami begitu erat, aku merasa Ibu hadir ditengah pelukanku dengan Ayah, aku merasa nyaman dan tenang.
Sekarang hari-hariku lebih baik setelah bersama Ayah, hari demi hari kulalui, bulan demi bulan silih berganti. Setiap waktu bersamanya tak pernah kusia-siakan seperti dulu aku menyia-nyiakan Ibu. Aku tak mau semua menjadi penyesalan dikemudian hari lagi. Setiap aku bersama Ayah, aku merasakan bahwa Ibu juga berada bersama kami. “Ayah, aku sayang Ayah” ucapku dan kupeluk erat-erat Ayahku, rasanya tak ingin ku lepas. “Ayah juga sayang kamu, Nak” ujar Ayah dan mencium keningku.
Aku yakin, Ibu pasti lebih bahagia di alam sana bersama para malaikat. Aku bangga pernah dilahirkan dari rahimnya. Ibu pasti sekarang bahagia melihat Ayah kembali menemaniku, kurasakan senyuman tulus Ibu dan hangatnya pelukan Ibu. Terima kasih Tuhan telah membuatku bangkit dan bahagia bersama Ayah, dan Ibu di alam sana.
Senin, 13 Oktober 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar